Rabu, 13 Mei 2009

Walikota Pematangsiantar Belum Tersentuh Hukum

Kasus CPNS Gate
Walikota Pematangsiantar Belum Tersentuh Hukum

Catatan M Gunawan Purba, wartawan Harian Global di Pematangsiantar

Nyaris dua tahun sudah Polres Simalungun menangani proses hukum perkara CPNS Gate Siantar. Selama itu pula, penyidik belum mampu "menyentuh" Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan. Meski posisi Walikota selama proses penjaringan CPNS sangat menentukan sekali. Tanpa persetujuannya, tidak akan ada CPNS yang mendapat NIP (Nomor Induk Pegawai) dari BKN (Badan Kepegawaian Negara). Di formasi tahun 2005 itu, 256 CPNS diusulkannya untuk mendapat NIP.
Hingga akhirnya diketahui, dari 256 CPNS yang diusulkan, 19 diantaranya diangkat Walikota menjadi CPNS melalui prosedur yang salah. Selaku pembuat SK (Surat Keputusan) pengangkatan CPNS, rasanya seperti tidak mungkin Walikota tidak mengetahui kalaui 19 CPNS tersebut bermasalah. Tragisnya, ke 19 CPNS siluman itu, rata rata merupakan keluarga dekat dari Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan dan sejumlah pejabat teras Pemko Pematangsiantar.
Sayang, hingga gelar perkara terlaksana di Polres Simalungun, polisi tidak juga dapat mencari bukti nepotisme dalam proses penerbitan SK dan pengusulan NIP kepada 19 CPNS siluman tersebut. Meski penyidik mengetahui, kalau mereka (19 CPNS siluman) menjadi CPNS tanpa mengikuti testing maupun dari kelompok yang sama sekali tidak lulus testing (sesuai hasil urut rangking yang dikeluarkan Puskom USU). Ketika perkara digelar (Jumat, 24 Oktober 2008), penyidik mengatakan 9 CPNS siluman disisip untuk mengisi formasi CPNS yang kosong di tahun 2004. Kemudian 3 CPNS siluman, disusup untuk menggantikan CPNS yang mengundurkan diri. Sedangkan 7 orang lainnya, dikatakan untuk mengisi formasi CPNS yang kosong di tahun 2005 itu (berdasarkan keterangan sejumlah saksi yang diperiksa penyidik).
Terkait persoalan CPNS Gate tersebut, BKN telah menyatakan ke 19 CPNS yang diangkat Walikota Pematangsiantar menyalahi aturan. Karena menyalahi aturan, maka BKN pun telah melakukan pembatalan NIP terhadap ke 19 CPNS siluman tersebut. Seharusnya, dengan pernyataan BKN ini, penyidik telah memiliki alat bukti untuk menjerat Walikota, selaku pembuat SK CPNS dimasa itu. Setidaknya, Walikota harus bertanggungjawab, atas kerugian masyarakat (pemenang CPNS) yang seharusnya menjadi CPNS, namun karena pelanggaran peraturan yang dilakukan Pemko Pematangsiantar, membuat mereka (masyarakat) tidak jadi CPNS.
Tetapi faktanya, hingga saat ini penydik Polres Simalungun tidak juga menetapkan Ir RE Siahaan sebagai tersangka. Dengan alasan, untuk menetapkan Walikota Pematangsiantar saat ini sebagai tersangka, tidak cukup dengan kesaksian Drs Morris Silalahi (Sekretaris Panitia Pengadaan CPNS Tahun 2005 dan juga Kepala BKD) seorang. Kapolres Simalungun AKBP Rudi Hartono mengatakan, sesuai azas hukum, untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka diperlukan dua alat bukti (Hal tersebut dikatakan Kapolres Simalungun dalam gelar perkara). Padahal, SK pengangkatan ke 19 CPNS, dikeluarkan oleh Walikota Pematangsiantar. Sehingga dengan SK itu bisa dijadikan alat bukti, ditambah lagi dengan pembatalan NIP yang dilakukan BKN.
Izin pemeriksaan Walikota Pematangsiantar dari Presiden RI, juga diduga menjadi salah satu penyebab, Walikota Pematangsiantar tidak "tersentuh". Andai saja Bareskrim Mabes Polri melanjutkan proses permohonan izin pemeriksaan Walikota itu ke Kapolri dan diteruskan ke Presiden, tentu saja ceritanya akan lain. Ini malah Bareskrim meminta penyidik agar melimpahkan berkas ke JPU (Jaksa Penuntut Umum) lebih dahulu. Jika JPU meminta berkas dilengkapi dengan keterangan Walikota, barulah proses permohonan izin pemeriksaan terhadap Walikota diteruskan ke Presiden RI.
Dikhawatirkan, JPU tidak meminta penyidik untuk melengkapi berkas perkara CPNS Gate dengan keterangan Walikota. Jika hal itu terjadi, maka besar kemungkinan Walikota Pematangsiantar akan "terselamatkan" dari kasus CPNS Gate. Meskipun sejumlah keluarganya termasuk didalam 19 CPNS siluman itu. Seharusnya, penyidik memiliki keberanian untuk menetapkan Ir RE Siahaan sebagai tersangka, dengan sejumlah petunjuk bukti yang telah mereka sita dan saksi yang ada. Ditambah lagi dengan pengakuan Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Drs Morris Silalahi, yang saat ini menjadi tersangka tunggal dalam kasus CPNS Gate Siantar.
Diyakini, pengakuan dari Kepala BKD tersebut adalah hal yang benar. Sebab tidak akan mungkin Kepala BKD itu mengusulkan nama nama CPNS ke BKN, tanpa sepengetahuan dan persetujuan Walikota Pematangsiantar. Disinilah tantangan bagi Polres Simalungun untuk menguak tabir kebenaran dari perkara CPNS Gate Siantar.

Pematangsiantar 26 Oktober 2008

DPRD Bungkam, Terkait Putusan Pemberhentian Walikota Siantar

M Gunawan purba
Global Pematangsiantar
Semangat menggebu-gebu yang ditunjukkan 20 anggota DPRD Pematangsiantar 1,5 bulan yang lalu, ketika menggelar rapat paripurna pemberhentian Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan dan Wakil Walikota Pematangsiantar Drs Imal Raya Harahap, kini mulai pudar. Bahkan, saat ini mereka (DPRD Pematangsiantar) terkesan bungkam, dalam menyikapi putusan mereka itu sendiri.
Pimpinan dan sejumlah anggota dewan yang dihubungi, terkait putusan DPRD nomor 12 tahun 2008, tentang pemberhentian Walikota dan Wakilnya, tak satupun mereka memberikan jawaban pasti, terkait proses eksaminasi putusan itu di Mahkamah Agung (MA). Malah ada yang sama sekali tidak memberikan jawaban. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui apakah hasil eksaminasi MA sudah mereka terima. Bahkan, masyarakat juga tidak tahu, apakah putusan itu jadi mereka kirim ke MA.
Ketua DPRD Pematangsiantar Lingga Napitupulu BcEng, Wakil Ketua Ir Saud Simanjuntak dan Syrwan Hazly Nasution sama sekali tidak menjawab konfirmasi yang dikirim wartawan melalui SMS, Kamis (23/10). Konfirmasi dikirim melalui SMS, berhubung ketiga pimpinan dewan tersebut, saat ini jarang masuk kantor. Begitu juga dengan sejumlah anggota dewan lainnya, Janter Aruan. Sedangkan Marisi Jujur Sirait mengatakan, belum ada mendengar tentang hasil eksaminasi dari MA. Maka dipastikannya, kalau ia belum ada menerima hasil eksaminasi yang dilakukan MA.
Sementara itu sebelumnya, anggota dewan dari PDIP Drs Aroni Zendrato mengatakan, belum bisa memberikan tanggapan dan meminta untuk bertanya kepada pimpinan dewan. Hal yang sama juga dikatakan Mangatas Silalahi (anggota dewan lainnya).
Ketertutupan pimpinan dan anggota dewan ini menimbulkan kecurigaan elemen masyarakat Kota Pematangsiantar. Seperti Direktur GoMo (Government Monitoring) M Alinapiah Simbolon SH, merasa curiga terhadap kinerja dan prilaku yang ditunjukkan oleh DPRD Pematangsiantar. "Jangan jangan usulan pemeberhentian Walikota dan Wakil Walikota tidak jadi dikirim ke MA, untuk dieksaminasi", ucap Simbolon curiga.
Seharusnya, sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, jelas diatur tata cara pemberhentian kepala daerah (Walikota) melalui usulan DPRD. Disana disebutkan, lebih dahulu usulan itu harus dieksaminasi oleh MA. Di undang undang itu juga diatur masa eksaminasi di MA. Yakni, selama 30 hari. Artinya, setelah 30 hari MA berkewajiban menerbitkan hasil eksaminasi tentang usulan dari DPRD tersebut. Tetapi di Pematangsiantar, sejak dewan memberhentikan Walikota dan Wakil Walikota pada 5 Sepetember 2008 yang lalu, dalam kurun waktu hingga sekarang ini, seharusnya hasil eksaminasi itu telah diterima oleh DPRD Pematangsiantar.
Sementara itu juru bicara Depdagri Saut Situmorang, melalui ponselnya mengatakan, lembaganya juga belum ada menerima hasil eksaminasi dari MA, terkait usulan DPRD memberhentikan Walikota Pematangsiantar Ir RE Siahaan dan Wakil Walikota Drs Imal Raya Harahap. Dengan begitu, Situmorang juga meminta MA agar tidak memperlama mengeluarkan hasil eksaminasinya.
Katanya, hasil eksaminasi MA selanjutnya diserahkan kepada DPRD. Kemudian dewan, melalui Gubernur Sumatera Utara menyampaikan usulan kepada Mendagri di Jakarta. Hal itu sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004.


Pematangsiantar, 23 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar